KEMERDEKAAN
yang diproklamirkan Soekarno-Hatta, pada 17 Agustus 1945, menjadi
momentum penting bangkitnya bangsa Indonesia dari tangan penjajahan.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kekuatan Indonesia telah
dikebiri kaum kolonial lebih dari 3,5 abad. Kini saatnya Indonesia
bangkit menyongsong kejayaan negara maritim yang besar.
Di
usianya yang ke-66 tahun Indonesia harus sudah terbebas dari segala
bentuk penjajahan. Wilayah nusantara harus kembali pada jati dirinya
sebagai negara kepulauan yang memiliki integritas tinggi. Jangan ada
lagi kesenjangan kesejahateraan antara penduduk di Pulau Jawa dengan
masyarakat terluar yang ada di perbatasan.
Namun
melihat realita, pengamat nasional, Fadjroel Rachman menilai Indonesia
belum sepenuhnya merdeka, terutama di sektor laut. Kepada Indonesia Maritime Magazine
(IMM), pria yang akrab disapa Mas Fadjroel ini mengatakan, prinsip
negara maritim harus segera dikembalikan, baik dalam bentuk regulasi,
kebijakan maupun peraturan. Ini berlaku mulai dari tingkat nasional
sampai dengan daerah yang ada di perbatasan.
“Bagi
saya jika kita tidak bisa mengembalikan posisi bangsa sebagai negara
maritim, artinya Indonesia melupakan kekuatannya. Karena memang kekuatan
Indonesia ada di laut,” jelas tokoh yang pernah maju menjadi calon
presiden dari kelompok independen ini.
Maraknya
pencurian kekayaan laut, bagi Fadjroel, belum menunjukkan Indonesia
jaya sebagai negara laut. Sudah saatnya Indonesia kembali menjadi negara
maritim. Jika itu terwujud, kata Fadjroel maka pencurian-pencurian ikan
bisa teratasi. Kenapa? Karena dalam konsep negara maritim, pertahanan
laut yang diutamakan.
“Tapi saat ini pertahanan laut kita
keteteran, menjadi negara maritim bagi saya bisa mengembalikan kejayaan
Indonesia. Banyak industri-industri maritim yang bisa digarap, dan itu
sangat luar biasa. Saat ini kan yang diambil hanya sekadar ikan, dan
belum menjadi industrialisasi,” katanya.
Di era Presiden Gus Dur (Abdurrahman
Wahid), semangat negara maritim pernah dibangun. Tetapi, kata Fadjroel,
pertarungan politiknya sangat kuat. Ini terjadi karena upaya
mengembalikan negara maritim adalah persoalan politik.
Jika presidennya menyatakan Indonesia
sebagai negara maritim, dengan semua kegiatan sosial, politik, ekonomi,
budaya dan pertahanan yang berbasis kelautan, negeri ini bisa bergerak
cepat. “Yang ditakuti negara luar secara geopolitik kan laut kita. Tapi
itu juga bisa menjadi kelemahan kita. Saat ini kenyataannya laut adalah
kelemahan kita,” terangnya.
Fadjroel yang kerap mengkritik pemerintah mengemukakan, mindset salah
yang dijalankan pemerintahan orde baru menjadi faktor utama. Ini bisa
dilihat dari cara memusatkan pertahanan dan keamanan negara di darat.
Padahal, setelah demokrasi berjalan, tidak ada lagi musuh internal.
Sekarang saatnya pertahanan negara dipusatkan di laut.
“Kalau aku jadi Presiden RI, aku
langsung bilang Indonesia adalah negara maritim. Banyak pelajaran bahwa
nusantara itu kekuatannya berbasis laut,” tegas Fadjroel. Ditilik
dari sejarah, tidak terbantahkan Indonesia adalah negara maritim. Hal
ini bisa dilihat di Kerajaan Sriwijaya yang begitu kuat dan disegani
bangsa lain. “Kesalahan ini bukan lagi berurusan pada pejabat kecil.
Karena pejabat di daerah sebetulnya akan mengikuti apa yang disampaikan
pemerintah pusat. Jika presidennya mengatakan, Indonesia adalah negara
maritim, maka semua alokasi APBN kita arahkan untuk membangun kelautan.
Saya yakin yang di bawahnya akan ikut pula,” paparnya.
Menurut Fadjroel, presiden itu tugasnya
hanya dua, memilih dan bertindak. Memilih negara maritim dan bertindak
bahwa Indonesia adalah negara maritim. Ke bawahnya, semua UU, perda dan
lainnya pasti akan ikut. “SBY hanya meneruskan orde baru, bahkan
kualitas SBY dibandingkan orde baru hanya ‘KW’ dua,” sindir Fadjroel.
Hal senada dikatakan pakar kelautan
Institut Pertanian Bogor (IPB), Dietriech G Bengen. Menurutnya,
Indonesia harus kembali ke sejarah. Belum jayanya Indonesia terutama di
laut, karena telah mengingkari sejarah bangsa. Padahal, secara jelas
bangsa ini besar sebagai negara kepulauan yang diwujudkan dalam bentuk
negara maritim. Suka tidak suka, itu adalah realitas yang harus
diterima. “Sebagai negara kepulauan tentu saja bagian terbesar adalah
laut. Maka, harus kita bangkitkan bangsa yang mempunyai kapasitas
kemaritiman,” tegas Dietriech.
Sejarah telah menunjukkan bahwa
Indonesia punya kapasitas kejayaan seperti era Sriwijaya. Dietriech
menyayangkan setelah sekian lama bangsa ini dijajah, tidak kembali pada
jati dirinya. Sehingga, bisa dikatakan laut terlupakan. “Orientasi kita
membangun daratan. Padahal darat ini bagian dari kepulauan. Hubungan
antara satu pulau dengan pulau lain tidak bisa lepas dari laut. Untuk
masa depan, wajib segera membangun laut, dan kita tidak bisa mengingkari
itu,” tegasnya.
Padahal, menurut Dietriech, ada
momentum bagi Indonesia untuk kembali menjadi bangsa maritim. Bisa
diingat krisis Indonesia pada 1998, hampir semua sektor ambruk. Hanya
sektor perikanan dan kelautan yang tumbuh secara positif. Era reformasi,
adalah momentum yang paling tepat kembali pada sejarah bangsa ini.
“Mari membangun laut untuk membangkitkan kejayaan bangsa Indonesia.
Sayang, momentum yang baik tidak dibarengi keseriusan. Terlihat
pemahaman kita terhadap sektor kelautan sangat kecil. Padahal orang lain
memahami kita mempunyai potensi yang luar biasa, kok tidak bisa
memanfaatkannya,” ujar Dietriech.
Ia menegaskan, Indonesia memang sudah merdeka baik secara de facto maupun de jure.
Tetapi, apakah bangsa ini sudah mengisi kemerdekaan? Itulah yang belum
terlihat. Belum dimanfaatkannya kekayaan laut menjadi bukti. Apakah ini
kesalahan dari pemimpin bangsa? Dietriech melihat di zaman Soekarno
pernah dilanda krisis. Pada waktu itu, Soekarno mengatakan, apa yang
bisa menyelamatkan bangsa ini. Jawabannya singkat lautlah yang bisa
menyelamatkan bangsa. “Laut inilah yang sebenarnya kekuatan kita,”
ungkapnya.
Pemimpin pasca Gus Dur, kata Dietriech,
kurang memahami laut dengan baik. Buktinya bisa dilihat apakah ada
pemimpin yang betul-betul mempunyai pemahaman dan semangat untuk
membangun kekuatan laut, Dietriech tidak melihatnya. “Perlu ada
revitalisasi, bukan revolusi. Revitalisasi
untuk membangun kembali bahwa bangsa ini adalah bangsa maritim,
sehingga semangat jiwa, etos maritim betul-betul tergambar dalam setiap
langkah,” terangnya.
Semangat untuk membangkitkan itu,
lanjut Dietriech, sudah diterapkan di perguruan tinggi terutama kampus
yang berbasis kelautan. Mereka sudah terlihat untuk mengangkat itu.
Tapi, masih ada kesenjangan dalam hal mengaplikasikan tataran teori.
Padahal, para akademisi sebetulnya bisa mendorong, Tapi, apakah sudah
direalisasikan. “Saya mencontohkan apakah mahasiswa kelautan sudah
melakukan praktik di pulau-pulau terluar agar menjiwai semangat maritim.
Saya katakan belum juga. Harus ada dukungan yang baik dari kementerian
maupun lembaga lain yang membuat mahasiswa bisa kerja lapangan di
wilayah terluar,” ujarnya.
Kekayaan Laut Harus Terlindungi
Secara
ekonomi dan pertahanan negeri ini harus mandiri dan mampu melindungi
kekayaannya dari kepentingan asing. Tujuannya tidak lain adalah untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Apalagi Indonesia memiliki sumber
daya alam (SDA) berlimpah, baik yang terbarukan maupun tidak terbarukan.
Untuk SDA terbarukan, tercatat negeri ini memiliki 20.000 spesies
moluska, 2.000 spesies crustacean, 20 mamalia paus (termasuk paus biru),
enam spesies penyu laut (dari 7 total dunia) dan 8.500 spesies ikan.
Sementara untuk sumber daya tak terbarukan, mencakup minyak, gas alam,
mineral timah, mangan dan emas.
Selain itu, potensi perikanan Indonesia
adalah yang terbesar di dunia. Secara keseluruhan mencapai 65 juta ton,
terdiri dari 7.3 juta ton untuk sektor perikanan tangkap dan 57.7 juta
ton untuk sektor perikanan budidaya. Namun, Indonesia hanya menempati
urutan 12 negara pengekspor ikan, di bawah Vietnam dan Thailand yang
sebenarnya memiliki sumber daya laut terbatas.
Tak heran jika melihat potensi ikan yang ada, Indonesia menjadi sasaran illegal fishing,
terutama di wilayah perbatasan. Banyak pencurian dilakukan kapal asing,
baik oleh nelayan tetangga maupun negara yang memiliki kemampuan tinggi
menangkap ikan, seperti Jepang.
Begitu kaya laut Indonesia, tetapi
kenapa bangsa ini masih kesusahan? Bahkan para lulusan perguruan tinggi
berlomba berebut kursi pekerjaan di perusahaan-perusahaan asing
dibanding mengembangkan negara dengan darah dan keringat sendiri. Siapa
yang akan mengelola jika semua generasi muda memilih bekerja di
perusahaan asing, yang secara tidak langsung memeras keringat bangsa ini
demi kepentingan mereka.
Pendiri Yayasan Cinta Bahari Indonesia,
Dr Aji Sularso menyatakan, kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Jika
tidak, Indonesia tak akan bisa menjadi negara mandiri dan tuan rumah di
negeri sendiri. Potensi sumber daya alam berlimpah, tetapi yang
memanfaatkan orang lain.
Untuk itu, Aji menekankan, pada momen
Kemerdekaan RI ke-66 penting dibangun sumber daya manusia yang
berkualitas. Ia mencontohkan Singapura. Mereka tidak punya sumber daya
alam, tetapi rakyatnya sejahtera. “Semua negara bisa maju, jika SDM-nya
maju pula. Jadi kalau kita mau mengubah bangsa ini dalam 20 tahun ke
depan, kita harus melakukan pendidikan unggulan.
Pemuda-pemuda yang dipersiapkan dipilih
dari setiap provinsi. Kalau kita mau mengoptimalkan potensi laut
sebagai negara maritim, kuncinya adalah SDM. Bicara apapun kalau SDM-nya
tidak sesuai, sama saja,” jelas mantan Dirjen Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini.
Sementara itu, analis bidang pertahanan
maritim, Dr Connie Rahakundini mengemukakan, sebagai bangsa berdaulat
ada dua unsur mendasar dalam membangun kekuatan negara, yaitu faktor
ekonomi dan militer (di samping critical mass strategy, dan will).
Lemahnya ekonomi bangsa dalam arti luas, menjadikan terbatasnya
kemampuan militer sebagai pertahanan. Sementara dalam arti sempit
menjadi kelemahan nyata Indonesia.
“Karena itu, kita akan selalu mudah
dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan internasional di dalam ruang
kedaulatannya, baik oleh negara lain, organisasi politik, NGO, maupun
korporasi (MNC). Padahal kekuatan nasional dapat dibentuk melalui
ekonomi dan militer, yang hubungan keduanya berbanding lurus. Artinya,
baik ekonomi maupun militer yang terlebih dulu dibangun, itu akan
memengaruhi satu dengan yang lain. Jika negara kita kuat, bangsa lain
tentu akan berpikir dua kali menjarah kekayaan negeri ini,” terang
Connie.
sumber : http://indomaritimeinstitute.org
Indonesia Masih Terjajah di Laut
Diposting oleh
Unknown
on Rabu, 12 Februari 2014
Label:
pengetahuan umum
0 komentar:
Posting Komentar